Pages

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 19 April 2011

Kelainan Perdarahan


EPISTAKSIS 
A.  Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari, dan hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu. Ia dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Perdarahan hidung tampak lebih sering terjadi pada masa awal kanak-kanak sampai pubertas. Walaupun pada kelompok usia tersebut biasanya tidak serius. Epistaksis berat atau yang mengancam jiwa tampaknya meningkat dengan bertambahnya usia.
Epistaksis adalah masalah klinis yang berbahaya, terutama bila berasal dari posterior. Sembilan puluh persen epistaksis berasal spontan dari pleksus pembuluh darah superfisialis didalam septum anterior inferior, dan lebih mudah ditangani dibandingkan epistaksis posterior, yang 10% pasien dari pembuluh darah di dalam dinding hidung lateral dekat nasofaring dan disertai dengan mortalitas 4% sampai 5%.

B.  Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. penyebab local :
·         Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.
·         Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
·         Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.
·         Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
·         Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
·         Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.
·         Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.
·         Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.
2. penyebab sistemik :
·         Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).
·         Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
·         Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
·         Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu.


C.  GEJALA
Epistaksis dibagi menjadi 2 kelompok:
·         Epistaksis anterior : perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior.  Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar dari salah satu lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi.
·         Epistaksis posterior : perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam, yaitu dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada usia lanjut, penderita hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Darah mengalir ke belakang, yaitu ke mulut dan tenggorokan.

D.  DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis epistaksis:
·         Pemeriksaan darah tepi lengkap
·         Fungsi hemostatis
·         Tes fungsi hati dan ginjal
·         Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal dan nasofaring
E.  Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.

F.   Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
1.      Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkhainferior harus diperiksa dengan cermat.
2.      Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3.      Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
4.      Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
5.      Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
6.      Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis


G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal.
Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.

H.       Penatalaksanaan
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :
1.      riwayat perdarahan sebelumnya
  1. lokasi perdarahan
  2. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
  3. lama perdarahan dan frekuensinya
  4. kecenderungan perdarahan
  5. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
  6. hipertensi
  7. diabetes mellitus
  8. penyakit hati
  9. gangguan anti koagulan
  10. trauma hidung yang belum lama
  11. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infuse plasma expander.
I.     Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.
                Penanganan epistaksis anterior

J.    Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
a.       Akibat perdarahan hebat :
1.      Syok dan anemia
2.      Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi
koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
b.      Akibat pemasangan tampon :
1.      Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media bahkanseptikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meski akan dipasang tampon baru bila masih berdarah.
2.      Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi hemotimpanum dan air mata yang berdarah.
3.      Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan

K. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.

L.  Mencegah epistaksis minor berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.
Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

M.Mencegah epistaksis
·         Jangan mengorek hidung, terutama bila kuku panjang
·         Jangan terlalu keras bila sisih (mengeluarkan lendir dari hidung)
·         Menggunakan humidifier dalam ruangan selama winter
·         Menggunakan semprot hidung berisi saline (over the counter) sebelum tidur
·         Oleskan Vaseline/petroleum jelly dekat lubang hidung sebelum tidur
·         Menghindari trauma pada wajah
·         Menggunakan masker bila bekerja di laboratorium untuk menghindari menghirup zat-zat kimia secara langsung
·         Hindari asap rokok karena asap dapat mengeringkan dan mengiritasi mukosa
·         Jika menderita alergi berikan obat antialergi untuk mengurangi gatal pada hidung
·         Stop pemakaian aspirin karena akan memudahkan terjadinya mimisan dan membuat mimisan berkepanjangan

N.  KESIMPULAN
Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab local antara lain: idiopati, trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh lingkungan, benda asing dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, kelainan congenital.
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler dan perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon, mencegah komplikasi baik sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha penanggulangan epistaksis dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.




DAFTAR PUSTAKA
Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti, editor. 2002. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. Hal: 125-129

Peter A. Hilger, MD, Penyakit Hidung, dalam : Harjanto, Kuswidayati, editor, BOIES. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. EGC: Jakarta. Hal: 224-233

Mansjoer, Arif., et al (eds), Kapita Selekta Kedokteran edisi III, jilid 1, FKUI. 1999. Media Aesculapius: Jakarta. hal: 96-99

Mark A. Graber dan Laura Beaty, Otolaringologi, dalam : Dewi, Susilawati, editor. 2006. Buku Saku Kedokteran Keluarga University of IOWA, ed.3. EGC: Jakarta. Hal: 745-747

http://www.emedicine.com/emerg/topic806.htm diunduh tanggal 8 April 2011

.......  Majalah Ummi Edisi II/XVI/2005. .....


Rabu, 06 April 2011


EPISTAKSIS 
A.  Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari, dan hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu. Ia dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Perdarahan hidung tampak lebih sering terjadi pada masa awal kanak-kanak sampai pubertas. Walaupun pada kelompok usia tersebut biasanya tidak serius. Epistaksis berat atau yang mengancam jiwa tampaknya meningkat dengan bertambahnya usia.
Epistaksis adalah masalah klinis yang berbahaya, terutama bila berasal dari posterior. Sembilan puluh persen epistaksis berasal spontan dari pleksus pembuluh darah superfisialis didalam septum anterior inferior, dan lebih mudah ditangani dibandingkan epistaksis posterior, yang 10% pasien dari pembuluh darah di dalam dinding hidung lateral dekat nasofaring dan disertai dengan mortalitas 4% sampai 5%.

B.  Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. penyebab local :
·         Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.
·         Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
·         Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.
·         Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
·         Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
·         Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.
·         Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.
·         Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.
2. penyebab sistemik :
·         Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).
·         Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
·         Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
·         Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu.


C.  GEJALA
Epistaksis dibagi menjadi 2 kelompok:
·         Epistaksis anterior : perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior.  Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar dari salah satu lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi.
·         Epistaksis posterior : perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam, yaitu dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada usia lanjut, penderita hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Darah mengalir ke belakang, yaitu ke mulut dan tenggorokan.

D.  DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis epistaksis:
·         Pemeriksaan darah tepi lengkap
·         Fungsi hemostatis
·         Tes fungsi hati dan ginjal
·         Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal dan nasofaring
E.  Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.

F.   Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
1.      Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkhainferior harus diperiksa dengan cermat.
2.      Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3.      Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
4.      Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
5.      Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
6.      Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis


G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal.
Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.

H.       Penatalaksanaan
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :
1.      riwayat perdarahan sebelumnya
  1. lokasi perdarahan
  2. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
  3. lama perdarahan dan frekuensinya
  4. kecenderungan perdarahan
  5. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
  6. hipertensi
  7. diabetes mellitus
  8. penyakit hati
  9. gangguan anti koagulan
  10. trauma hidung yang belum lama
  11. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infuse plasma expander.
I.     Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.
                Penanganan epistaksis anterior

J.    Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
a.       Akibat perdarahan hebat :
1.      Syok dan anemia
2.      Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi
koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
b.      Akibat pemasangan tampon :
1.      Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media bahkanseptikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meski akan dipasang tampon baru bila masih berdarah.
2.      Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi hemotimpanum dan air mata yang berdarah.
3.      Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan

K. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.

L.  Mencegah epistaksis minor berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.
Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

M.Mencegah epistaksis
·         Jangan mengorek hidung, terutama bila kuku panjang
·         Jangan terlalu keras bila sisih (mengeluarkan lendir dari hidung)
·         Menggunakan humidifier dalam ruangan selama winter
·         Menggunakan semprot hidung berisi saline (over the counter) sebelum tidur
·         Oleskan Vaseline/petroleum jelly dekat lubang hidung sebelum tidur
·         Menghindari trauma pada wajah
·         Menggunakan masker bila bekerja di laboratorium untuk menghindari menghirup zat-zat kimia secara langsung
·         Hindari asap rokok karena asap dapat mengeringkan dan mengiritasi mukosa
·         Jika menderita alergi berikan obat antialergi untuk mengurangi gatal pada hidung
·         Stop pemakaian aspirin karena akan memudahkan terjadinya mimisan dan membuat mimisan berkepanjangan

N.  KESIMPULAN
Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab local antara lain: idiopati, trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh lingkungan, benda asing dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, kelainan congenital.
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler dan perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon, mencegah komplikasi baik sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha penanggulangan epistaksis dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.




DAFTAR PUSTAKA
Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti, editor. 2002. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. Hal: 125-129

Peter A. Hilger, MD, Penyakit Hidung, dalam : Harjanto, Kuswidayati, editor, BOIES. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. EGC: Jakarta. Hal: 224-233

Mansjoer, Arif., et al (eds), Kapita Selekta Kedokteran edisi III, jilid 1, FKUI. 1999. Media Aesculapius: Jakarta. hal: 96-99

Mark A. Graber dan Laura Beaty, Otolaringologi, dalam : Dewi, Susilawati, editor. 2006. Buku Saku Kedokteran Keluarga University of IOWA, ed.3. EGC: Jakarta. Hal: 745-747

http://www.emedicine.com/emerg/topic806.htm diunduh tanggal 8 April 2011

.......  Majalah Ummi Edisi II/XVI/2005. .....


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More